Skripsi atau Tugas Akhir adalah perjuangan terakhir seorang mahasiswa. Dari zaman orang tua kita kuliah dulu hingga sekarang, caranya kurang lebih sama. Kita menyajikan makalah kita diatas kertas, kemudian setelah lulus dengan revisi-revisi yang melelahkan, kertas-kertas itu lebih sering dibuang daripada dimanfaatkan.
Mahasiswa yang sudah ngebet ingin cepat-cepat lulus tentu saja tidak mempedulikan berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan. Yang ada di pikiran mereka cuma satu, saya ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini. Saya kurang tahu pasti, tapi biasanya tiap mahasiswa mungkin membutuhkan paling tidak 2 rim atau 1000 lembar kertas untuk membuat skripsi. Dan untuk skripsi yang sudah jadi, mungkin membutuhkan sekitar 200 – 300 lembar kertas, tergantung tebal tiap skripsi dan berapa jumlah salinan skripsi yang harus dikumpulkan. Jadi kira-kira 700 lembar kertas akan terbuang sia-sia. Jika suatu hari anda membeli gorengan dan melihat daftar isi atau abstraksi di bungkusan gorengan anda, ya begitulah kira-kira nasib kertas-kertas tersebut.
Jika dalam satu periode skripsi, sebuah cabang kampus memiliki sekitar 500 mahasiswa akhir, berarti sebanyak 500 x 700 lembar kertas akan terbuang percuma. Revisi materi, tanda tangan persetujuan, salah ketik, lupa nama gelar, dan berbagai kesalahan lainnya menunjukkan bahwa dosen dan mahasiswa adalah manusia biasa. Tapi sebetulnya kerugian dari kesalahan-kesalahan tersebut tentunya bisa dikurangi jika ada kemauan terutama dari kampus.
Bagaimana jika kampus mulai memberlakukan program bimbingan skripsi tanpa kertas? Saat ini tools kolaborasi dokumen sudah tersedia secara gratis di internet. Dosen bisa memanfaatkan misalnya Google Docs untuk melakukan revisi dan catatan di draft-draft skripsi mahasiswanya. Namun tentu saja, hasil akhir tetap harus berbentuk sebagai buku. Sebagai uji coba, program bimbingan skripsi tanpa kertas tidak wajib. Program ini harus dilaksanakan secara bertahap hingga transisi berjalan dengan baik.
Sebagai bentuk kepedulian akan lingkungan dan ilmu komputer, program ini sebetulnya bisa diawali oleh kampus-kampus jurusan Teknologi Informasi. Sebagai tambahan untuk bimbingan skripsi tanpa kertas, kampus jurusan TI juga bisa memanfaatkan GitHub untuk menampilkan proyeknya ke dosen. Dosen bisa memberi saran dengan melakukan pull request di progam buatan si mahasiswa tanpa si mahasiswa harus bolak-balik menghabiskan biaya dan bahan bakar hanya untuk sebuah revisi minor.
Repot atau radikal? Menurut saya tidak juga, sudah menjadi kewajiban seorang dosen untuk mengikuti perkembangan zaman dan tidak hanya duduk manis di zona nyaman mengajarkan hal yang itu-itu saja.
Jika program ini berhasil minimal di Jakarta dan saati ini untuk kampus jurusan TI, berapa banyak penghematan yang bisa dilakukan? Mungkin terlalu dramatis jika membicarakan berapa banyak pohon yang bisa diselamatkan. Program ini minimal meredefinisikan alur kerja penulisan skripsi atau tugas akhir antara mahasiswa dan dosen menjadi lebih efisien.